Selasa, 03 September 2013

Maaf

terasa begitu lekat memandangnya
wajah yang tampak kelelahan
berkutat dengan hidup yang terasa begitu penat
aku mencoba tuk merasakan
apa yang sedang ia fikirkan

semakin lama ku memandangnya
semakin tak kumengerti apa yang sebenarnya
apa yang ia fikirkan
apa yang ia rasakan
hanya rasa bingung yang menghinggapiku

beberapa kali ku tetap mencoba
tapi apa yang kudapat?
tetap saja
berkali-kali rasa bingung yang menghampiriku

berfikir aku cukup keras
untuk dapat sedikit saja mengetahui
hanya untuk sekelumit
apa mungkin?
dapatkah aku memahaminya?

berada didekatnya
tetap tidak mudah untukku
untuk memahami apa yang ada di fikirannya
apa yang ingin ia lakukan
apa yang ingin ia tidak lakukan

rasanya aku ingin menggantikannya
aku ingin gurat-gurat kelelahan berpindah padaku
rasanya aku ingin membaginya
aku ingin semua kebahagiaan ku untuknya
tapi apa yang bisa kuperbuat
aku hanya bisa terdiam

berulang kali kucoba
sampai air mata ini pun tidak dapat mewakili apa yang kurasakan
berulang kali kucoba
sampai kata-kata tak sanggup untuk menguraikannya
apa yang kurasa
apa yang kufikirkan
apa yang kumau
apa yang tidak kuinginkan

tetap saja ku tak dapat menguraikan
fikiran-fikiranmu
keinginan-keinginanmu
harapan-harapanmu
segala apa yang ada didalam benakmu

maafkan....
sampai saat ini pun aku belum berhasil

maafkanku pak....

kisah lima tahun ini

Hampir lima tahun lamanya, itu bukan waktu yang singkat. Tidak cuma sekali aku menangis dibuatnya, bahkan aku sudah lupa berapa banyak aku menangis (malu-maluin aja :D). Lebih banyak tertawa rasanya yang terjadi dalam lima tahun itu ;-) Semua terasa seperti kebodohan yang tak termaafkan dan berakhir kurang baik. Tapi aku belajar dari semua yang terjadi dalam kurun waktu itu.

Semua bermula dari mimpi dan akhirnya pun berakhir tetap sebagai mimpi. Mimpi yang mengajariku banyak hal, mimpi yang mendidikku untuk menjadi manusia yang lebih menghargai orang lain. Mimpi yang memberitahuku bagaimana rasanya menangis karena orang lain, dan menangisi orang lain. Berat rasanya tapi aku harus kuat.

Aku memang pemarah dan terbiasa menyelesaikan pesoalan dengan mendahulukan emosi, mengedepankan amarah. Hingga pada suatu waktu kemarahan yang aku rasakan sudah pada puncaknya, walaupun aku sendiri tidak mengetahui dengan pasti kenapa aku harus marah. Dan kenapa aku harus menyalahkan orang lain. Memvonis orang lain menjadi sebab kemarahanku. Terasa sangat konyol aku fikir.

Komunikasiku yang sangat terbatas turut membuat semuanya jadi tambah berantakan. Antara maksud hati dan yang terucap berbeda. Hampir selalu tidak sejalan. Karena faktor itulah, biasanya aku lebih memilih untuk menjaga perasaan orang lain dan membiarkan rasa yang aku alami tidak karuan. Lebih baik melukai diri sendiri daripada harus menyakiti orang lain, paling tidak itulah yang aku anggap benar. Hasilnya adalah semua berjalan baik-baik saja.

Tapi entah kenapa kebiasaan-kebiasaaan itu tidak terjadi di hari itu. Aku justru tidak perduli dengan apa yang akan dirasakan oleh orang lain. Aku hanya fokus pada kemarahanku. Hanya buruk sangka pada orang lain yang ada di fikiranku tanpa mengingat bagaimana mereka menjaga perasaanku selama ini. Terucaplah semua yang ada di fikiranku, kekecewaanku, kemarahanku, ketidakperdulianku. Semuanya tentang keegoisanku :'(

Hancur sudah semuanya. Menyesal? mungkin iya, tapi untuk apa? Semua sudah terjadi. Satu-satunya yang sungguh membuatku kecewa adalah kenapa aku tidak mampu lagi menjaga perasaaan orang lain, dan kenapa aku harus menjadi seperti monster (lebay ga sih :p) Kini yang aku bisa hanya diam dan berharap semuanya akan jadi lebih baik.